Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Opini  
Topik : 

Korupsi Awololong.?

Penulis : Akhmad Bumi (Advokat, Tinggal di Kupang)

Mensanews.com-Kupang, Pulau siput Awololong menjadi viral di sosial media, dan menjadi bahan diskusi yang belum berakhir. Proyek tersebut tidak muncul dalam APBD induk 2018, artinya item proyek tsb tidak dibahas oleh DPRD, tapi proyek tsb muncul dalam Perbub Nomor; 41 tahun 2018 tentang Perubahan Perbub No. 52 tahun 2017 tentang Penjabaran APBD tahun 2018. Olehnya menjadi tanda tanya sebagian orang, tidak ada dalam APBD induk tapi muncul di penjabaran APBD. Perbub No. 41 tsb ditandatangani oleh Plh Sekda yang diangkat dengan SPT (surat perintah tugas), dan memang Plh dan Plt tidak diangkat dengan surat keputusan (SK) melainkan dengan SPT (surat perintah tugas). Karena diangkat dengan SPT, olehnya Plh dan Plt tidak dilantik atau tidak diambil sumpah jabatan. Proyek Awololong dengan pagu Rp7.000.000.000,- dimenangkan oleh PT Bahana Krida Nusantara nilai penawaran terendah Rp 6.891.900.000,-. Proyek tsb mulai dikerjakan sejak tanggal 12 Oktober 2018 dan berakhir tanggal 31 Desember 2018.

Sampai dengan batas waktu 31 Desember 2018 realisasi fisik pekerjaan atas proyek tersebut masih 0%, tapi keuangan telah keluar sebesar 80% atau sekitar Rp5.513.520.000,- dari nilai penawaran sebesar Rp 6.891.900.000,- (80/100 x Rp6.891.900.000,-). Olehnya realisasi keuangan lebih besar dari realisasi fisik. Disisi lain, lazimnya kontrak yang dibuat adalah kontrak satuan artinya bayaran diberikan dengan melihat pekerjaan mana yang sudah selesai dan dibuktikan dengan laporan kemajuan fisik pekerjaan dari penyedia jasa/barang.

Baca Juga :  Ketawa Bareng Ganjar, Gigi Palsu Ngasipah Sampai Mau Copot

Kenapa bisa Pengguna Anggaran (PA), Kuasa BUD, Bendahara Pengeluaran serta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) merealisasikan keuangan kepada penyedia jasa/barang tidak sesuai laporan kemajuan fisik pekerjaan? Ini soal. Soalnya terletak pada pejabat yang diberi wewenang mengambil tindakan dan tindakan tsb berakibat pada pengeluaran keuangan negara. Lalu siapa saja pejabat yang diberi wewenang itu?

PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) adalah pejabat yang diberi kewenangan membuat kontrak dengan pihak penyedia jasa/barang. Dalam proyek Awololong ini bersifat satu kesatuan, olehnya hanya ada satu dokumen kontrak. Dalam satu kontrak berisi dua komponen yakni; pengadaan barang dan pemasangan konstruksi. Kepala Dinas Budpar selaku Pengguna Anggaran diberi wewenang menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). Atas dasar SPM tersebut maka kuasa BUD menerbitakan SP2D sebagai dasar pencairan dana atas prestasi pekerjaan pada bank. Bendahara Pengeluaran dan Pejabat Pengendali Tekhnis Kegiatan (PPTK) diberi kewenangan menyiapkan dokumen yang diperlukan sebagai lampiran dalam pengajuan SPP-LS, menandatangani dokumen SPP-LS dan mengajukan kepada Pengguna Anggaran melalui PPK-SKPD. Bendahara Pengeluaran menandatangani bukti pembayaran LS kepada pihak ketiga dengan mengetahui Pengguna Anggaran. Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) SKPD diberi kewenangan untuk meneliti kelengkapan SPP-LS dan menyiapkan SPM serta mengajukan kepada Pengguna Anggaran.

Baca Juga :  Panen Melon, Bupati Masneno Apresiasi Kerja Keras Kelompok Tani Tiklot

Karena per 31 Desember 2018 realisasi fisik masih 0%, maka terjadilah adendum hingga tanggal 31 Maret 2019. Hingga batas waktu adendum tanggal 31 Maret 2019 fisik pekerjaan juga masih 0%, dibuatkan kembali adendum (II) antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan penyedia jasa/barang sampai tanggal 15 November 2019. Dalam masa adendum tersebut telah cair lagi dana sebesar 5% atau sekitar Rp344.595.000,-. Olehnya total uang negara yang sudah keluar sebesar Rp5.513.520.000 + Rp344.595.000,- = Rp5.858.115.000,-(85%). Sisa uang yang belum cair dari proyek Awololong sebesar 15% atau sekitar Rp1.033.785.000,- Tapi sampai dengan batas waktu kontrak kedua tanggal 15 November 2019, fisik pekerjaan masih juga 0% (belum terealisasi).

Addendum adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya tapi secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu. Kontrak yang sifatnya mengikat membuat para pihak yang terlibat di dalamnya harus berpegang teguh pada setiap klausala yang telah disepakati. Jika para pihak tidak menunaikan prestasinya secara baik sesuai kontrak dan melalukan perbuatan yang berakibat pada kerugian keuangan negara, maka disini tindak pidana korupsinya.

Baca Juga :  Menyambut sidang Commision on the Status of Women atau CSW ke-63 yang akan digelar pada 11-22 Maret 2019 di New York, sejumlah perwakilan negara di kawasan Asia-Pasifik menggelar rapat persiapan di Bangkok, Thailand

Menurut Silvester Samun selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek Awololong sejak tanggal 15 November 2019 telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan PT Bahana Krida Nusantara selaku kontraktor pelaksana (Warta Keadilan, 18 November 2019). Sesuai aturan, jika dilakukan PHK maka pembayaran dilakukan sesuai progres pekerjaan dikurangi uang muka 30% yang sudah diterima kontraktor. Tapi dalam proyek ini telah dibayar 85% tapi tidak didukung progres fisik. Semua ini memiliki konsekwensi hukum, dan dapat diproses dengan UU Tindak Pidana Korupsi.

Robert Klitgaard merumuskan pengertian korupsi (terjadi) karena kekuasaan dan kewenangan tidak diimbangi dengan akuntabilitas. C = M + D – A, Corrupption = Monopoli + Diskresi – Akuntabilitas. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) disebutkan korupsi antara lain dengan unsur; melawan hukum, menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, merugikan keuangan dan perekonomian Negara.

Dari sekian banyak ketentuan yang mengatur tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor, ketentuan yang mengatur tentang “merugikan keuangan Negara” terdapat pada Pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Selebihnya, tindak pidana yang dikategorikan sebagai korupsi tapi tidak memerlukan penghitungan kerugian keuangan negara.